Efek Antipiretik Ekstrak Cacing Tanah

Dondin Sajuthi, Elly Suradikusumah,
dan Marcus Ardian Santoso

Cacing tanah di dunia telah teridentifikasi sebanyak 1.800 spesies. Dari jumlah tersebut, ada dua spesies, yaitu Lumbricus rubellus (dikenal dengan cacing eropa atau introduksi) dan Pheretima aspergillum (dikenal dengan nama cacing kalung atau di long), yang banyak digunakan dalam pengobatan tradisional. Lumbricus rubellus telah banyak dibudidayakan di Indonesia, sedangkan Ph. aspergillum belum banyak dibudidayakan.

Jika kita pergi ke toko obat Cina untuk mencari obat demam atau tifus, penjual akan menyarankan supaya menggunakan cacing kering untuk direbus dan diminum airnya, atau kalau tidak suka dengan baunya yang cukup menyengat, bisa memakan dalam bentuk kering yang sudah dimasukkan dalam kapsul.

Cacing kering yang diberikan itu adalah jenis Ph. aspergillum. Cacing tanah menarik perhatian karena dalam keadaan yang buruk sekalipun mereka bisa bertahan hidup.

Media vermikultur pun menggunakan kotoran sapi. Dari hal itu pasti cacing tanah memiliki senyawa kimia yang unik dalam tubuhnya yang mampu mempertahankan dirinya dari keadaan yang buruk dan mungkin dapat dimanfaatkan untuk kebaikan manusia.

Kandungan senyawa kimia cacing tanah memang unik. Kadar protein cacing tanah sangat tinggi, yaitu 58 persen hingga 78 persen dari bobot keringnya (lebih tinggi daripada ikan dan daging) yang dihitung dari jumlah nitrogen yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, cacing tanah rendah lemak, yaitu hanya 3 persen hingga 10 persen dari bobot keringnya. Protein yang terkandung dalam cacing tanah mengandung asam amino esensial dan kualitasnya juga melebihi ikan dan daging.

Oleh karena itu, di Jepang, Hongaria, Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat, cacing tanah sudah dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia selain digunakan untuk ramuan obat baik untuk pencegahan maupun pengobatan dan bahan kosmetik.

Demam merupakan gejala awal berbagai penyakit manusia. Penyebab demam bisa berbagai macam, tetapi umumnya gejala peningkatan suhu tubuh harus segera diatasi karena dapat mengakibatkan efek lain yang lebih berbahaya.

Demam dapat terjadi karena peningkatan titik patokan suhu di hipotalamus. Jika sel tubuh terluka oleh rangsangan pirogen seperti bakteri, virus, atau parasit, membran sel yang tersusun oleh fosfolipid akan rusak.

Salah satu komponen asam lemak fosfolipid, yaitu asam arakidonat, akan terputus dari ikatan molekul fosfolipid dibantu oleh enzim fosfolipase. Asam arakidonat akan membentuk prostaglandin dengan bantuan enzim siklooksigenase.

Prostaglandin inilah yang merangsang hipotalamus untuk meningkatkan suhu tubuh. Gejala demam dapat diatasi dengan obat antipiretik.

Ketika gejala demam muncul, umumnya orang akan menggunakan parasetamol untuk mencegah kenaikan suhu tubuh lebih lanjut.

Parasetamol memang obat antipiretik umum. Harganya terjangkau dan mudah didapat. Hanya saja, obat ini juga cukup banyak efek sampingnya. Selain itu, parasetamol hanya mengurangi gejala demam saja tanpa "membunuh" akar penyebab demam tersebut.

Pemanfaatan cacing tanah untuk antipiretik lebih aman karena komponen kimia cacing tanah tidak menimbulkan efek toksik bagi manusia sehingga aman dikonsumsi. Satu-satunya efek toksik cacing tanah adalah cacing tanah dapat mengakumulasi logam berat yang ada pada tanah dalam tubuhnya. Cacing tanah dapat menoleransi logam berat dalam konsentrasi yang cukup tinggi.

Namun, hal ini dapat diatasi dengan vermikultur, yaitu membuat media tumbuh yang baik bagi cacing tanah. Penampakan tubuh cacing tanah yang tercemar pun mudah dibedakan dengan yang normal.

Pengujian ekstrak cacing tanah untuk melihat aktivitasnya sebagai antipiretik dilakukan menggunakan hewan coba tikus putih yang didemamkan dengan penyuntikan vaksin campak. Suhu normal tikus putih mirip dengan manusia, yaitu berkisar antara 35,9 hingga 37,5 derajat celsius. Tikus putih yang sudah demam diobati dengan ekstrak cacing tanah dan parasetamol sebagai kontrol. Setelah didemamkan, suhu tubuh tikus putih diukur dan diamati pergerakan suhunya.

Kelompok tikus putih yang tidak diberi pengobatan meningkat suhunya hingga perbedaannya rata-rata 1,8 derajat celsius dari suhu normalnya, sementara yang diberi ekstrak cacing tanah hanya meningkat suhunya hingga perbedaannya 0,8 derajat celsius.

Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan suhu tikus putih yang didemamkan dapat ditahan oleh ekstrak cacing tanah. Bahkan, ketika telah dipisahkan senyawa aktifnya secara kasar, kenaikan suhu tikus putih yang didemamkan dapat ditahan hingga 0,4 derajat celsius saja. Efek ekstrak L. rubellus maupun Ph. aspergillum tidak menunjukkan perbedaan nyata.

Senyawa golongan alkaloid

Dari serangkaian pengujian kimia diketahui bahwa senyawa aktif sebagai antipiretik dari ekstrak cacing tanah adalah golongan senyawa alkaloid. Pengujian memang belum dapat menentukan nama senyawanya secara tepat. Golongan senyawa alkaloid mempunyai ciri mengandung atom nitrogen (bandingkan dengan struktur parasetamol yang juga memiliki atom nitrogen) dan bersifat basa (pH lebih dari 7).

Contoh alkaloid yang paling terkenal adalah nikotin dari tembakau. Seperti umumnya senyawa aktif, jika dikonsumsi berlebihan, dapat menjadi racun juga. Golongan alkaloid memang sudah banyak ditemukan dari ekstrak tumbuhan maupun hewan dan sebagian besar di antaranya memiliki efek farmakologis.

Ekstrak tumbuhan yang dikenal dapat menurunkan gejala demam seperti kina juga mengandung alkaloid sebagai senyawa aktifnya. Adanya senyawa alkaloid yang aktif dari cacing tanah ini juga sesuai dengan kadar N yang sangat tinggi dari cacing tanah seperti disebut di atas. Selain itu pH ekstrak cacing tanah kedua spesies di atas 7.

Penelitian sebelumnya juga menunjukkan efek antibakteri dari ekstrak cacing tanah. Jadi, bisa disimpulkan bahwa dalam kasus penyakit tifus, ekstrak cacing tanah bisa bekerja dari dua sisi, yaitu membunuh bakteri penyebabnya sekaligus menurunkan demamnya. Jika ekstrak cacing tanah bisa menurunkan demam dengan baik, mungkin ekstrak ini juga bisa berperan dalam penyembuhan penyakit SARS yang marak belakangan ini walaupun memang harus diteliti lebih jauh lagi karena karakteristik bakteri dan virus sangat berbeda.

Akan tetapi, setidaknya untuk pertolongan pertama masih memungkinkan untuk meredakan demam tinggi yang merupakan gejala awal penyakit sindrom akut tersebut.

Prof Dr drh Dondin Sajuthi, Ir Elly Suradikusumah MS, dan Marcus Ardian Santoso SSi Jurusan Kimia FMIPA IPB


Sumber: http://www2.kompas.com

No comments: